CAHAYA SURGA: Kilauan mentari menembus bibir Gua Jomblang di Jogjakarta. (Fahmi Ulinuha for Jawa Pos)

Ada banyak sudut Jogjakarta yang mungkin tak pernah terlintas di benak Anda. Sudut-sudut liar yang hanya bisa ditemui ketika Anda melangkahkan kaki lebih jauh menuju keindahan tersembunyi itu.
AKHIR Februari, saya kembali menginjakkan kaki di tanah Jogjakarta. Berniat hanya mengunjungi partner motret dan jalan-jalan yang berkuliah di Kota Gudeg itu, kunjungan kali ini menjadi short trip yang tidak terlupakan.
Saat itu saya baru sampai di Stasiun Lempuyangan dan menyadari telah bosan dengan Jogjakarta yang terhampar di sepanjang keraton dan Malioboro saja. ’’Kali ini saya ingin bermain dengan matahari Jogjakarta.’’ Demikian niat saya saat Fahmi, partner foto saya, datang menjemput.
Ada beberapa tempat yang sudah masuk incaran saya untuk perjalanan ke Jogjakarta kali ini. Matahari terbenam atau sunset adalah yang pertama menjadi incaran saya. Tidak ada yang menarik hati saat googling tempat melihat sunset di Jogjakarta. Paling banyak adalah Pantai Parangtritis.
Besar dan tumbuh di wilayah Bali yang memiliki banyak pantai membuat saya enggan memandang hamparan air dengan kilau matahari sore. Akhirnya, motor kami terhenti di penunjuk jalan dengan tulisan ’’Gumuk Pasir’’. Lokasinya berada di Jalan parangtritis.
Sebelum mencapai pantai dari arah Kota Jogjakarta, ada jalan kecil di sebelah kanan jalan. Masuk ke dalam sekitar 500 meter, terdapat penunjuk tempat parkir yang dikelola warga sekitar. Saat melihat hamparan pasir yang luas dan berbatasan dengan perbukitan dengan sedikit semak hijau di sekelilingnya, saya hanya takjub.
Baru tahu Jogjakarta punya tempat asyik buat dieksplorasi. Aktivitas pengunjung di wilayah Gumuk Pasir tak lepas dari foto-foto. Yap! Berbagai pose dan kegiatan dilakukan di hadapan kamera. Salah satu yang menarik adalah segerombolan anak muda yang memainkan papan di atas gundukan pasir. Mereka berselancar dengan papan kayu yang dimainkan seperti sebuah skateboard. Bedanya, papan yang ini tanpa roda dan di atas hamparan pasir! Tawa lepas dan ejekan ketika salah satu di antara mereka terjatuh menambah genap hadirnya matahari terbenam yang bulat sempurna sore itu, indah!
Untuk melihat sunrise atau matahari terbit, bukan hanya niat bangun pagi yang diperlukan, tapi juga cuaca yang mendukung. Adalah wilayah Mangunan di Bantul, Jogjakarta, yang menjadi incaran saya. Sebab, bukan hanya hamparan awan yang berada di bawah kaki kita yang terlihat, namun jajaran hutan pinus juga terdapat di sekitar wilayah tersebut.
Singkatnya, perjalanan kami ditambah dengan cuaca mendung yang muncul di dua kali pagi membuat kami kehilangan sunrise tersebut. Namun, kekecewaan hilang ketika kami mengunjungi Kalibiru. Wisata alam yang terkenal dengan kehadiran Keenan Pearce yang berfoto di salah satu sudutnya.
Ditempuh sekitar dua jam perjalanan dari Jogjakarta, Kalibiru menawarkan keindahan Waduk Sermo dari ketinggian. Bukan hanya itu, kawasan yang berada di daerah Kulonprogo, Jogjakarta, tersebut juga menawarkan wisataoutbound yang asyik.
Di dalam kawasan Kalibiru, kita diharuskan membawa tongsis! Sebab, antrean berfoto di rumah pohon ala Keenan Pearce membutuhkan waktu mengantre yang tidak sebentar. Untuk itu, pengunjung bisa melakukan foto dari sudut lain dengan bantuan tongsis agar latar belakang Waduk Sermo yang indah dari atas tetap terlihat.
Bukan hanya itu, di Kalibiru, kita juga dapat menikmati hamparan perbukitan Menoreh yang hijau. Dan, yang paling menarik adalah hawanya tidak membuat kita menggigil, namun cukup membuat kita nyaman dengan kesegaran udara di sana.
Sunset sudah! Sunrisesudah diganti dengan Kalibiru. Lalu, apa lagi? Matahari siang? Bagi fotografer, matahari siang yang terik dan tepat di atas kepala adalah hal yang paling menjengkelkan. Tak terkecuali bagi saya dan Fahmi.
Tapi, anggapan kami dipatahkan oleh cantiknya matahari siang Gua Jomblang, Gunungkidul. Gua Jomblang adalah gua yang terletak di wilayah Semanu, Gunungkidul, Jogjakarta. Tak sulit menemukan gua tersebut karena masih satu wilayah dengan wisata Gua Pindul yang terkenal itu. Namun, pilihan mengunjungi Gua Jomblang dibanding Gua Pindul adalah keputusan demi mendapatkan foto dengan pancaran sinar matahari siang.
Jadi, tanpa kemampuan ala anak pencinta alam yang mahir dengancaving,kami berangkat ke Gua Jomblang. Sampai di lokasi, kami takjub dengan lubang gua yang menjorok sedalam 50 meter. Dengan polos, kami bertanya di mana tempat masuknya. Kami juga menyadari tidak ada jalan masuk yang biasa ditemui seperti pada Gua Maharani di Jawa Timur, selain menggunakan tali yang diikatkan ke badan untuk turun secara vertikal ke bawah gua.
Setelah turun sedalam 50 meter dari bibir Gua Jomblang, kami melewatislope atau daratan yang menghubungkan Gua Jomblang dengan Gua Grubug, tempat cahaya vertikal matahari yang kami cari.
Pak Gatot, pemandu yang menemani kami, mengatakan bahwa Gua Jomblang memiliki hamparan tanaman yang unik dan belum diketahui jenisnya. Beberapa tanaman mengeluarkan buah seperti cabai. Namun, belum ada eksplorasi lebih mendalam tentang khasiat dan kandungan buah tersebut. Karena itu, sampai sekarang tanaman di dalam gua masih utuh dan terjaga keasliannya.
Setelah melewati slope sepanjang 300 meter, kami sampai di Gua Grubug atau luweng Grubug yang memiliki batu alam yang tercipta karena tetesan mata air yang turun selama ribuan tahun. Dan, di atas semua itu, kami disambut cahaya matahari yang masuk secara vertikal yang menghujani tubuh kami yang berlumuran tanah liat hasil menapaki gua yang gelap dan becek.
Para pengunjung menyebut cahaya matahari vertikal itu sebagai cahaya surga. Bukan tanpa alasan, hasil cahaya tersebut sering disebut cahaya surga karena jatuhnya yang indah tepat dari atas gua. Tubuh kami pun seperti bermandi cahaya dari atas bibir gua yang memiliki kedalaman 90 meter itu. Keaslian wisata Gua Jomblang ini juga dijaga si pengeksplor pertama, Cahyo Alkantana, yang empat tahun lalu membuka Gua Jomblang untuk umum dengan bantuan masyarakat sekitar gua. Karena itu, untuk dapat ke sana, kita harus melakukan kontak terlebih dahulu dan melakukancaving dengan alat yang disediakan pemandu.
Eksotisme Jogjakarta tidak akan pernah ada habisnya. Wisata kota dan sejarahnya lewat keraton dan hiruk pikuk Malioboro tidak akan pernah mati. Namun, jalanan menukik di Gunungkidul ataupun kawasan Kulonprogo di Jogjakarta menawarkan sihir lain dari Jogjakarta yang penuh budaya. Indah, terjaga, serta menantang menjadi daya tarik wisata alam di Jogjakarta. Bermain dengan matahari tidak pernah selengkap saat berada di Jogjakarta.