AKRAB: Aburizal Bakrie dan Jusuf Kalla berjabat tangan saat HUT Golkar ke-50 (28/10). (Agus Wahyudi/Jawa Pos)

JAKARTA – Mantan Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla (JK) meminta pencalonan dan pemilihan ketua umum dalam musyawarah nasional (munas) kesembilan dilakukan dengan cara demokratis dan tidak ada unsur paksaan. Politikus senior yang kini kembali menjabat wakil presiden tersebut meminta agar upaya mempersulit pencalonan ketua umum tidak dilakukan.
JK mengaku kaget dengan persyaratan tambahan bagi calon ketua umum yang tidak didasarkan pada anggaran dasar atau anggaran rumah tangga partai. ”Secepatnya harus diluruskan,” kata JK di Jakarta, Sabtu (8/11). 
Menurut pria asal Makassar itu, cara-cara mengganjal lewat aturan atau main belakang bukan cara yang demokratis. JK mengatakan, sebagai partai besar, Golkar tidak seharusnya melakukan cara-cara itu. ”Kalau sekarang sudah tidak pas. Jangan kembali ke zaman Orde Baru dong,” ucap dia.
Sebelumnya, pemilihan ketua umum Golkar tahun depan dikeluhkan enam calon ketua umum. Yakni, Agung Laksono, Priyo Budi Santoso, Agus Gumiwang Kartasasmita, Zainudin Amali, M.S. Hidayat, dan Hajriyanto Y. Thohari. Mereka mengaku dipersulit dengan aturan tambahan untuk maju sebagai ketua umum partai berlambang pohon beringin itu. 
Aturan tambahan yang dimaksud menyebutkan bahwa setiap calon ketua umum harus mendapat dukungan dari sepuluh DPD provinsi Partai Golkar. Aturan itu tidak terdapat di AD/ART Partai Golkar. Karena itu, para calon ketua umum tersebut merasa sudah diganjal terlebih dulu lewat aturan sebelum menyatakan maju sebagai kandidat pimpinan partai yang lahir dari rahim Orde Baru itu. 
Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya menilai, munas Partai Golkar merupakan momentum untuk menentukan arah dan kebijakan baru ”beringin” pasca kekalahan di pemilu legislatif. Menurut Totok, sapaan akrab Yunarto, pilihan Partai Golkar ke depan itu akan berpengaruh pada evaluasi internal dan pilihan politik partai.
”Partai Golkar selama ini menunjukkan diri sebagai partai modern dengan regenerasi kepemimpinan satu kali setiap periode. Namun, tantangannya saat ini berbeda,” ujar Totok.
Menurut Totok, Partai Golkar selama ini mampu membuat nilai politik baru. Struktur organisasi selama ini relatif modern karena tidak bertumpu pada kekuatan figur seperti yang dialami partai lain, misalnya Partai Gerakan Indonesia Raya dan Partai Demokrat. Namun, kekuatan kolektif Partai Golkar sepertinya tidak terlihat saat ini.
”Partai Golkar saat ini mengambil peran di koalisi tertentu yang agak ekstrem (Koalisi Merah Putih, Red). Menurut saya, Partai Golkar kehilangan perannya sebagai leader,” tambah dia.
Totok menilai, Partai Golkar membutuhkan sosok pemimpin baru. Syarat utamanya, kelemahan pemimpin baru harus sedikit. Dengan begitu, dia bisa mengangkat lagi posisi Partai Golkar. Sebab, Partai Golkar membutuhkan pemimpin yang segar agar bisa memperoleh tambahan pemilih dari segmen yang selama ini sulit disentuh. Data berbagai survei menunjukkan, pemilih Partai Golkar didominasi mereka yang berusia 50 tahun ke atas.
”Tokoh ini harus diuji agar bisa mendapat captive market di era anak muda. Ketua yang memiliki latar belakang personal branding yang berpeluang meng-create new market (pemilih baru, Red),” ucap dia.